PENGAKUAN TKW JADI BUDAK SEX

 
PENGAKUAN TKW JADI BUDAK SEX
Di Arab Saudi banyak TKW yang lari dari majikan tempatnya bekerja. Namun tak jarang mereka justru terperangkap dalam lembah prostitusi. Di penjara Jeddah, Arab saudi, sekitar 80 persen penghuninya adalah Tenaga Kerja Wanita yang didakwa melakukan perzinahan. Bahkan tak sedikit dari mereka yang akhirnya terinveksi penyakit HIV. Berikut pengakuan Elly Rusmini, TKW asal Indonesia.

Aku ceritakan pengalamanku semasa jadi TKI di negara Arab Saudi. Di negara ini aku jadi TKW bukannya disuruh bekerja, tapi menjadi budak seks. Aku menjadi pemuas nafsu adik majikanku yang bernama Hassan Abdillah yang tinggal di Mina.
Aku bertul-betul jadi budak sex karena lelaki Arab yang walaupun ganteng kayak bintang sinetron Adam Jordan, tapi kebanyakan moralnya bejat. Aku dikurung dalam sangkar emas berukuran besar ukuran. Yaitu sebuah ruangan berukuran  10 x10 meter.
Di dalam ruangan itu, juga terdapat kamar mandi, WC. Sedangkan lafasilitas lainnya layaknya fasilitas sebuah hotel berkelas. Kulkas, tempat tidur merk alga spring bed, tv ukuran raksasa dan barang mewah lainnya. Seluruh keperluanku ada didalam kamar dan tinggal meminta yang ku mau pada majikan. Aku terkunci di dalamnya.
Setiap hari kerjaku hanya menanti kedatangannya. Setiap hari aku harus melayani nafsu seksnya yang sangat besar. Yang menyakitkan, Hassan menderita penyakit seks yang sadis atau biasa dikenal dengan nama Hybraisthopilia.
Setiap melakukan seks, dia akan mengikatku lalu mencambukku. Semakin aku berteriak, merintih kesakitan itu yang disukainya.Dia makin bernafsu mendengar suara perempuan yang menderita kesakitan sewaktu berhubungan seks.
Ini yang membuatku harus bersandiwara mengerang kesakitan sebisanya agar cambuknya tidak tambah kuat melukai kulitku yang sudah ditelanjanginya. Aku juga harus melayani berbagai gaya seks berupa anal seks dan oral seks yang sangat menjijikan yang belum pernah aku alami di Indonesia, karena aku berangkat sebagai TKI masihlah gadis perawan.
Sungguh derita yang tidak akan kulupakan sampai maut menjemput. Aku menyesal kenapa dulu tidak satu daerah dengan si Winarni, kawan sekampungku di Solo, karena Winarni yang memilih bekerja sebagai TKI di Taiwan. Dia malah sangat disayangi bosnya. Buktinya Win selalu dibelikan daging sapi oleh istri majikan, karena Win tidak makan daging babi.
Sementara aku hanya menjadi pelayan seks keluarga majikanku di arab Saudi. Anehnya, pemerintah negaraku begitu bangga dengan menyebut orang-orang seperti diriku sebagai “Pahlawan Devisa”.
Padahal orang-orang seperti diriku adalah orang yang teraniaya. Khususnya diriku, tak kuasa mempertahankan kehormatanku sebagai wanita, apalagi sebutan wanita muslimah di negeri yang dikenal sebagai negara 100 persen muslim tersebut. Sementara, negara dimana aku menjadi warga Negara tak mau tahu kepedihan dan jeritan hati orang-orang seperti diriku.
Untunglah, walau berpenyakit, Hassan masih menepati janjinya. Karena setahun kemudian aku dibebaskan karena kontrak sebagai TKW di rumahnya telah berakhir. Aku dibelikan tiket dan paspor, serta identitasku yang lain diberikannya, ditambah dengan setumpuk uang, aku dipulangkan kembali ke negeri asalku bernama Indonesia.  
Aku sendiri berangkat dari sebuah agent perjalanan resmi dan tidak melalui agent perjalanan atau jaringan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal.
Jadi Korban Human Trafficking
Adalah Tarminah, TKW asal Tulungagung. Ia adalah korban pengiriman TKW ilegal yang terorganisasi dengan rapi dan penuh dengan becking pelaku human trafficking. Tarminah bertemu denganku di bandara Juanda Surabaya.
Dalam pertemuan singkat itu, ia menceritakan deritanya semenjak berangkat melalui Batam, Malaysia, Singapura hingga akhirnya dibuang di Saudi Arabia. Identitas Tarminah hilang tak tahu kemana rimbanya, sejak dirinya datang di Malaysia.
Awalnya, Tarminah berkenalan dengan seorang lelaki yang dijumpai di sebuah acara pernikahan temannya. Lelaki itu mengaku bernama Ardiansyah. Ia tinggal di Surabaya. Pertemuan itu berlanjut lewat hubungan udara, yaitu telepon dan sms. Tarminah tak mengetahui jika Ardiansyah merupakan salah satu anggota jaringan pengiriman TKI illegal.
Saat itu Tarminah tanpa piker panjang menerima tawaran menjadi TKW dari Ardiansyah. Kehidupan teman-teman sebayanya yang tidak seperti dirinya, membuat ia kepincut untuk menjadi TKW.
Dengan memberikan uang sebesar Rp 3,5 juta rupiah, sesuai permintaan Ardiansyah, sebagai biaya pengurusan dokumen pemberangkatannya menjadi TKW. Tarminah tak menyadari bahwa Adriansyah merupakan tekong yang dikirim kelompoknya untuk mencari tenaga kerja wanita di kawasan Madura, Lumajang, Jember maupu Tulungagung.    
Dari tempat tinggalnya di Tulungagung, Tarminah dijemput dengan sebuah mobil oleh Ardiansyah menuju Surabaya untuk mulai membuat dokumen awal berupa seperti paspor, Kartu Identitas Tanda Penduduk (KTP) aspal.
Semua itu dibuat para mafia dan melibatkan kantor imigrasi Surabaya. Setelah itu, dengan dibekali tiket perjalanan para TKW diberangkatkan dari Surabaya menuju Batam, Riau dengan menggunakan pesawat terbang. Semua itu diatur oleh penyedia jasa tiket khusus yang telah menjadi bagian mafia pemberangkatan TKI ilegal.
Sampai di pelabuhan Batam, ada petugas anggota jaringan, yang bertugas mengurus keimigrasian calon tenaga kerja dan memberangkatkan mereka dengan menggunakan feri, ke Johor atau Pelabuhan Penang.
Sesanpai di Johor, ada anggota sindikat human trafficking yang bertugas memastikan para calon tenaga kerja bisa lolos keimigrasian dan mengantarkan tenaga kerja ke kota-kota tujuan bekerja. Biasanya mereka disalurkan ke rumah-rumah bordir di perbatasan Malaysia –Philipina.
Di tempat itulah Tarminah bekerja. Tidak sebagai pembantu rumah tangga tetapi dirinya dijadikan pelacur yang harus melayani para hidung belang dari berbagai Negara.
Penjagaan ketat dan kurangnya keberanian dan wawasan, membuat Tarminah harus rela menjadi pemuas nafsu para hidung belang. Jika hanya menjadi pelacur, bukankah didaerahnya juga ada lokalisasi? Bahkan di negaranya sendiri juga banyak lokalisasi resmi yang diketahui olejh pejabat pemerintah.
Bahkan pengguna jasa lokalisasi juga tak sedikit dari para pejabat, pegawai negeri, mengapa dirnya harus menjadi pelacur di negeri orang?
Yang lebih tragis lagi, Tarminah tak pernah mengantongi sedikitpun rupiah, ringgit, dollar, peso atau mata uang negara manapun sebagai upah pelacuran dirinya. Semua dikuasai para germo bahkan mungkin para tekong juga mendapatkan bagian dalam setiap tetesan peluh, airmata bahkan air….nya. Pikiran itu membuat Tarminah merasa putus asa.
Setelah berbulan-bulan menjadi pekerja seks di tempat itu, Tarminah mendapatkan pelanggan orang Arab. Walau orang itu royal dan hampirsebulan lamanya menjadi tamu tetapnya, namun ia tak pernah mendapatkan keuntungan apapun. Semua hasil jerih payahnya dinikmati sang germo yang ia tahu seorang singkek asal Malaysia.
Entah berapa nilai tansnfernya. Yang jelas setelah menjadi pelanggan setianya, ia dibawa pergi oleh lelaki Arab ke negaranya. Ia dijadikan Hareem atau istri simpanan, atau bahkan budak seks lelaki Arab yang kemudian diketahui oleh Turminah bernama Murthola.
Tarminah tak mengetahui proses pengurusan paspor, visa atau segala tetek bengek identitasnya. Murthola melalu bahasa isyarat mengatakan bahwa semua identitasnya ada di tangan lelaki itu.
Rupanya setelah terjatuh dan dikuasai germo singkek Malaysia, kini dirinya jatuh ke tangan germo Arab. Bedanya kalau selama di Pattaya, nama lokalisasi perbatasan Malaysia –Philipina ia melayani banyak orang, jika di rumah majikannya yang baru ia melayani sang majikan seorang.
Tarminah tak tahu kini ia berada di kota bernama apa, yang pasti ia melayani gejolak seks majikannya sehari tak kurang dari lima kali. Atraktif seks majikannya barunya itu harus ia ladeni selama tidak kurang tiga bulan berturut – turut.
Tak jarang dalam masa mentruasi, Tarminah masih harus melayani syahwat majikannya. Jika dirinya menolak, tak jarang ia menerima perlakuan kasar. Kekasaran yang ia terima dari Murhola sering kali menimbulkan luka dan memar ditubuhnya.
Sampai suatu saat ia jatuh sakit dan harus dirawat di sebuah rumah sakit Mina. Itupun setelah saudara sang majikannya menemukan dirinya tergeletak di kamar tak berdaya, sedangkan saat itu sang majikan sednag keluar rumah.
Rumah itu memang tak berpenghuni selain dirinya dan sang majikannya. Entah mengapa adik Murthola bisa sampai di tempat itu. setelah Tarminah dilarikan ke rumah sakit Mina, dan sembuh dari penyakit yang dideritanya. Tarminah pun senasib denganku, dia akhirnya dipulangkan ke Indonesia.
Aku bersyukur bisa kembali pulang ke Indonesia setelah menjalani nasib buruknya menjadi perahan mafia pengiriman tenaga kerja,” begitukisah Tarminah kepadaku di Bandara Juanda. Tanpa ada yang mengomando, aku dan Tarminah saling berpelukan. Kami merasakan derita yang sama, sebagai seorang warga Negara Indonesia, sebagai sorang wanita yang menjadi korban trafficking dan pelacuran berselubung tenaga kerja.
***
Sama dengan diriku, Tarminah juga mendapatkan sedikit uang sebagai imbalan dan mungkin rasa kemanusiaan majikan. Aku bersumpah tidak akan pernah memperbolehkan saudara dan kerabat wanitaku untuk pergi menjadi pengais devisa.
Sebab resiko, imbalan dan mungkin jika ada tanda jasa yang diterima, tak sepadan dengan pengorbanan yang harus ditanggung para tenaga kerja sebagai TKW.
Namun ironisnya, di daerahku, atau banyak daerah asal para TKW dn TKI pada umumnya, adalah daerah minus, gersang dan tak tersentuh dengan sempurna para pemikir ekonom atau pejabat terkait, tentang kemakmuran dan kesetaraan pembangunan ekonomi dan sosial.
Haruskah lebih banyak orang-orang seperti aku, Tarminah dan yang lainnya menjadi korban untuk membuka pikiran dan hati para pejabat negeri ini?
Untuk mengusahakan lapangan kerja di daerah kami masing-masing sehingga kami tak pergi meninggalkan daerah, negeri ini hanya untuk mendapatkan predikat sebagai pahlawan devisa namun yang sebenarnya yang kami lakoni hanyalah pangkat sebagai pelacur?
Sampai kapan para pemimpin negeri ini sadar dan bisa membuat industriyang sesuai dengan karakter, budaya dan potensi ekonomi daerah masing-masing? Akankah harapanku akan sia-sia?
Sebab di setiap perkotaan negeri ini yang aku saksikan yang terhampar hanyalah lapangan pekerjaan berbau kemaksiatan semata. Seluruh lapangan pekerjaan yang tersedia hanyalah menjadi buruh yang pendapatan sebulannya tak cukup untuk menganjal perut selama sebulan!
Akhirnya, jika bermodal moralitas, agama dan melulu mengejar materi, tak sedikit gadis desa sepertiku, atau Tarminah menjadi korban kerakusan seksual warga dan bangsa sendiri yang telah jauh dari norma kehidupan agamis.
Tapi aku maupun Tarminah telah membulatkan tekat. Untuk kembali hidup dengan kesederhanaan, tak mudah tertipu oleh gemerlap dan kemewahan yang telah membudaya di negeri ini.
Uang yang kami dapat, entah dengan sebutan uang halal atau haram, tetapi cukup dan kami ikhlaskan sebagai modal usaha di kampong halaman untuk membuka usaha warung dan berjualan pulsa. 
 
Mudah-mudahan Tuhan meridhoi usaha itu dan bisa menjadi penutup biaya hidup, minimal diri kami sendiri. Tentu orang seperti aku dan Tarminah akan lebih bersyukur jika Tuhan memberikan jodoh, lelaki yang bertanggungjawab dan menerimaku apa adanya.
Orang seperti aku maupun Tarminah akan lebih dan menambah sujud kehadirat illahi, jika lelaki yang menjadi suami kami nanti mampu menjadi imam dan menurunkan generasi penerus dan menjadi pemimpin yang mengerti akan kesulitan dan kebutuhan rakyat, bangsa maupun negaranya.

Dengan tetesan air mata, kukisahkan kisah kelamku agar menjadi pelajaran bagi yang mau mengambil hikmah di dalamnya. Syukur-syukur ada pejabat pemerintah yang mau membaca kisah ini dan berbuat, membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan anak bangsa yang kian hari kian sengsara dan nestapa atas kebijakan dan produk hukum selama ini.@